127 hours, dilihat dari judulnya pasti membuat bertanya-tanya, film seperti apa 127 hours
sebenarnya, apakah film komedi, film action, ataukah film horror.
Karena penasaran, langsung lihat isi film secara acak, ternyata
didalamnya berisi tentang cerita seorang pemanjat tebing yang tragis.
Setelah ditonton secara keseluruhan, filmnya bagus (menurut penulis tentunya, he he), tidak rugi menghabiskan waktu sekitar 1 setengah jam untuk memelototi film ini. Film 127 hours bercerita tentang seorang pecinta alam, tepatnya seorang pecinta tebing yang pergi menikmati keindahan tebing seorang diri, kalau tidak salah tebingnya di daerah grand canyon USA.
Dimulai dari perjalanan dengan menggunakan mobil yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan sebuah sepeda gunung karena medan yang tidak memungkinkan lagi untuk menggunakan mobil. Dengan berbekal kamera, handycam ditelusuri jalan kering berdebu tanpa ada tumbuhan hijau sama sekali. Pada akhirnya sampailah pada sebuah celah tebing yang sempit, dia mencoba untuk memasuki celah sempit tersebut dengan kelincahan tangan dan kakinya. Sesekali dia meraba, merasakan dan menikmati tekstur dinding-dinding tebing yang indah.
Disinilah tragedi itu dimulai, dia masuk lagi ke dalam celah tebing yang lebih dalam, namun tanpa disangka batu kira-kira dengan diameter 1 m yang digunakan sebagai pijakan kakinya terjatuh. Jatuhlah dia ke dasar celah tebing yang dalam, sebenarnya jatuhnya itu tidaklah seberapa namun yang jadi masalah adalah tangan kanannya tersangkut batu besar berdiameter 1 m tadi. Berbagai cara dilakukan agar tangan kananya terlepas dari batu tersebut, dari mulai mengangkatnya sekuat tenaga, mengikirnya dengan menggunakan pisau kecil, namun semua itu sia-sia, batu itu tidak bergerak sedikitpun.
Dari sinilah kemudian dapat diketahui maksud dari judul 127 hours (sekitar 5 hari lebih 7 jam), itu adalah waktu lamanya pecinta alam tersebut terjebak tanpa daya upaya karena tangan kananya tersangkut disebuah batu besar. Selama 5 hari dan hanya satu botol air mineral saja yang tersisa, sampai-sampai dia menyayat tangannya sendiri untuk diminum darahnya. Selama 127 jam, didalam kepasrahan dan keputusasaan untuk bertahan hidup, teringat kembali semua kenangan-kenangan indah selama hidupnya.
Pada akhir cerita film, ditengah keputusasaan ada secercah semangat yang membangkitkan harapan bertahan hidup pada dirinya, dia memotong tangannya sendiri untuk bisa terlepas dari batu dan dapat keluar dari dalam celah tebing hidup-hidup, daging, syaraf demi syaraf dia potong satu demi satu hanya dengan menggunakan sebuah pisau kecil berukuran 1 cm.
Kalau dilihat dari sampul dan di ending ceritanya ternyata kisah ini diambil dari sebuah kisah nyata.
Dari sini dapat diambil pelajaran
- sekuat-kuatnya, sehebat-hebatnya, sepintar-pintarnya seseorang pasti tetap saja membutuhkan orang lain
Setiap manusia dianugerahi Tuhan kemampuan untuk bertahan hidup. Termasuk saat mereka menghadapi permasalahan atau terjebak di antara hidup dan mati. Itulah yang menjadi intisari film ‘127 hours’.
Aron Ralston (James Franco) adalah seorang pemanjat tebing yang gemar tantangan. Kegemaran itu sampai membuatnya berjarak dengan orang-orang terdekatnya. Tanpa pamit, suatu hari dia memutuskan untuk berpetualang. Kali ini tujuannya adalah menaklukkan tebing-tebing cadas di sebuah daerah terpencil di Utah.
Pada awalnya petualangannya berjalan mulus. Setelah beberapa jam berkendara mengarungi gurun, Ralston mulai menguji ketahanan tubuhnya menggunakan sepeda lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki. Di perjalanan dia pun sempat bertemu dua petualang cantik.
Namun saat sedang asyik-asyiknya menjelajahi deretan tebing, petaka datang. Ralston terpeleset sehingga terperosok ke dalam jurang yang sempit. Lebih sial lagi tangan kanannya terjepit pecahan batu. Terjepit di jurang terpencil, dengan perlengkapan seadanya, Ralston harus berjuang selama 127 jam guna membebaskan dirinya dari maut. Inikah akhir petualangannya?
Film ini merupakan kisah nyata yang diangkat sutradara David Boyle ke dalam film. Selama 92 menit penonton bakal banyak disuguhi oleh adegan di jurang terpencil. Namun entah mengapa tidak sedikitpun terbesit rasa bosan. Adegan di jurang sempit diselingi flashback kehidupan Ralston, yang berujung perubahan emosi dan sikapnya.
Selama film berlangsung tak pelak mata kita akan terpaku pada tokoh Ralston. Untungnya Franco bermain sangat baik. Aktor yang pernah bermain di film ‘Eat, Pray, Love’ ini menurut saya berhasil membuat penontonnya berempati dengan kondisinya. Well done, gorgeous!
Cuma bisa bilang, salah satu film paling saya rekomendasikan untuk ditonton tahun ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar