Apakah pendaki gunung yang dimaksud dimaknai secara harfiah, yaitu orang yang suka mendaki gunung, benar-benar pendaki gunung ataukah memaknai pendaki gunung dengan sesuatu yang lain? Atau mengartikan pendaki dengan makna sesungguhnya, namun memaknai gunung dengan arti berbeda? Nah lho… gunung apa coba?
Bahasan arti pertama; benar-benar pendaki gunung.
Saya juga suka naik gunung, pun saat ini calon istri juga dulunya anak pendaki gunung, malah doi pernah jatuh gara-gara latihan flaying fox di kampus.na. Sebagai seorang pendaki gunung pasti mempunyai pengalaman suka- duka saat mencoba meraih puncak dari gunung – gunung yang didaki. Tanpa meraih puncak, ibarat makan tidak pakai nasi. Ada saja yang kurang, sepertinya perut tidak mau penuh kekenyangan.
Mendaki gunung itu pertarungan antara ego, fisik, mental, semangat, harapan, tekat, putus asa dan kepasrahan. Tergantung kitanya mau memetik hasil apa dari pertarungan tersebut. Jadi orang sombong, merasa kuat dan mampu. Merasa tahan banting lantas pongah. Atau malahan menjadi orang yang lebih mawas diri, ternyata kita, manusia ini, tidak ada apa-apanya dibanding alam raya yang luas, yang bagian kecilnya tercermin oleh kerasnya alam pegunungan. Silahkan pilih hasil yang mana sampeyan.
Kata banyak orang, mau melihat watak asli kawan kita itu, ajak naik gunung. Dari sana akan kelihatan watak aslinya; cengeng, manja, tahan banting, egois, setia kawan, penakut atau pemberani.
Nah apakah dengan mendaki kita akan menjadi suami ideal? saya akan kembalikan jawabannya kepada beberapa poin di atas. Tergantung hasil apa yang diperoleh di gunung lantas kita bawa pulang. Pelajaran apa yang ter-ambil dari sana lalu kita tanamkan dalam kelakuan sehari-hari.
Jadi suami yang lebih mawas diri, penyayang dan penyabar. Atau malah menjadi suami yang ber-ego besar dan keras kepala karena merasa menjadi ”penakluk” alam. Oooww tidak bisa…kita pendaki bukan penakluk. Alam tidak akan pernah takluk di tangan manusia. Tidak akan pernah sobat.
Bahasan arti kedua; pendaki “gunung” yang lain.
Bagi yang suka berpikir jorok ( including me ) , gunung… mmmm…mendengar kata itu pikiran akan dibawa dan diarahkan ke padang ilalang warna-warni penuh wanita sexy. Di sana, fantasi kita akan diajak menikmati indahnya gunung yang bisa jalan-jalan dengan berbagai ukuran dan bentuk. Ada yang menjulang padat berisi seperti gunung Semeru. Ada yang indah menantang seperti Rinjani atau ada yang imut menggemaskan seperti gunung Batur di Bali.
“Sudah – sudah…kalau bahas gunung kembar aja pada melek matanya!!!”
Nah menyangkut “gunung” yang satu itu bila dikaitkan dengan suami ideal saya bisa menarik kesimpulan ngawur bahwasanya suami yang pintar memperlakukan istrinya dalam urusan orang dewasa, urusan ranjang, maka suami tersebut termasuk dalam golongan suami ideal. Kok bisa?
Iya…pendaki “gunung” dalam bahasan ini adalah suami-suami yang tahu dan paham seluk – beluk tubuh pasangannya. Suami yang hapal di luar kepala harus seperti apa memperlakukan, mengeksploitasi dan mendaki titik – titik rangsang, mencari spot-spot hot yang tersebar di tubuh pasangannya. Termasuk “gunung” tadi yang merupakan asset utama nan berharga dari deretan titik yang tidak boleh dilewatkan oleh suami demi memuaskan pasangannya.
Kesimpulan
Berdasarkan bahasan di atas, menjadi suami ideal tidak harus menjadi pendaki gunung betulan. Tidak perlu berpeluh ria berat-berat ngegotong tas karil sebesar kulkas dua pintu. Tidak usah bermandi hujan bersama pacet dan lintah demi sebuah puncak. Namun cukuplah mengerti dan paham apa yang akan sampeyan hadapi ke depannya. Bagaimana memperlakukan dia, pasangan hidup yang sudah berikrar dalam ijab kabul agar berdua bersama meraih puncak kehidupan.
Rumah tangga itu ibarat rimba belantara, suami siaga selalu akan menjadi garda terdepan untuk melewati segala rintangan dan istri ada di samping untuk selalu membisikkan kata-kata pembangkit gairah nafsu..eh maaf, pembangkit semangat dan nasehat penyeimbang langkah berdua. Capailah puncak-puncak kehidupan yang kalian pilih bersama dengan kerjasama tim yang padu dan kompak, jangan lupa untuk membawa bekal yang cukup. Awas ada babi hutan, hati-hati jurang, jangan sampai kehabisan bekal, tersesat dan tidak ditemukan.
Hahahahaha..gambaran suami ideal di mata seorang pendaki gunung. Mantap lah…
kalau anda?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar